Monthly Archives: Februari 2010

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA BAGI PERZINAHAN

Standar

Delik perzinahan diatur dalam Pasal 284 KUHP yang dapat dikategorikan sebagai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan. Delik-delik kesusilaan dalam KUHP terdapat dalam dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang merupakan kejahatan dan Bab VI Buku III yang termasuk jenis pelanggaran. Yang termasuk dalam kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatan-perbuatan:
a.yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan benda- benda dan sebagainya yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno (Pasal 281 – 283);
b.zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan seksual (Pasal 284-296);
c.perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);
d.yang berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kandungan (Pasal 299);
e.memabukkan (Pasal 300);
f.menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal 301);
g.penganiayaan hewan (Pasal 302);
h.perjudian (Pasal 303 dan 303 bis).
Adapun yang termasuk pelanggaran kesusilaan dalam KUHP meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut :
a.mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal 532-535);
b.yang berhubungan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536-539);
c.yang berhubungan dengan perbuatan tidak susila terhadap hewan (Pasal 540, 541 dan 544);
d.meramal nasib atau mimpi (Pasal 545);
e.menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda berkekuatan gaib dan memberi ilmu kesaktian (Pasal 546);
f.memakai jimat sebagai saksi dalam persidangan (Pasal547).

Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XIV mengenai kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan ini sengaja dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk melindungi orang-orang dari tindakan-tindakan asusila dan perilaku-perilaku baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang kepatutan- kepatutan di bidang seksual, baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat maupun dari segi kebiasaan masyarakat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka.1

Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Wiryono Prodjodikoro bahwa kesusilaan itu mengenai juga tentang adat kebiasaan yang baik, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (sex) seorang manusia. Dengan demikian, pidana mengenai delik kesusilaan semestinya hanya perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma kesusilaan seksual yang tergolong dalam kejahatan terhadap kesusilaan2. Akan tetapi menurut Roeslan Saleh, pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual saja, tetapi juga meliputi hal-hal lain yang termasuk dalam penguasaan norma-norma bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat.3 Sedangkan permasalahan-permasalahan dari persetubuhan yang tidak merupakan tindak pidana menurut KUHP, yaitu :
1.dua orang yang belum kawin yang melakukan persetubuhan, walaupun
a.Perbupatan itu dipandang bertentangan dengan atau mengganggu perasaan moral masyarakat;
b.Wanita itu mau melakukan persetubuhan karena tipu muslihat atau janji akan menikahi, tetapi diingkari;
c.Berakibat hamilnya wanita itu dan lai-laki yang menghamilinya tidak bersedia menikahinya atau ada halangan untuk nikah menurut undang-undang;
2.Seorang laki-laki telah bersuami menghamili seorang gadis (berarti telah melakukan perzinahan) tetapi istrinya tidak membuat pengaduan untuk menuntut;
3.Seorang melakukan hidup bersama dengan orang lain sebagai suami isteri di luar perkawinan padahal perbuatan itu tercela dan bertentangan atau mengganggu perasaan kesusilaan/moral masyarakat setempat.

Dalam RUU KUHP (Konsep KUHP) mungkin akan membawa perubahan besar. Hakim tidak harus selalu berpegang erat pada undang-undang lagi. Hukum adat bisa diadopsi sebagai pidana pokok dalam putusan. Walaupun dalam konsep KUHP kita masih berpegang teguh pada asas legalitas yang tertuang pada pasal 1 ayat 1 “Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan” tetapi dalam ayat 3 menyebutkan “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan” yang kemudian diterangkan dalam ayat (4) sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat dunia.

Dari penjelasan diatas bisa kita tarik pernyataan bahwa perbuatan yang tidak diatur dalam perundang-undangan tapi bertentangan dengan hukum yang hidup di masyarakat (nilai-nilai yang ada dalam masyarakat) bisa saja dijerat pidana. Salah satunya adalah berhubungan intim di luar ikatan perkawinan yang sah atau zina.

Zina pada hakekatnya adalah melakukan hubungan badan di luar nikah. sayangnya dalam pasal 284 KUHP yang berlaku sekarang mengalami penyempitan makna menjadi zina hanya dilakukan oleh orang yang salah satunya terikat perkawinan dengan orang lain. Tetapi seperti kita tahu bahwa pasal tersebut masih kurang pas dalam penerapannya di masyarakat Indonesia karena dalam pasal tersebut masih amat sempit pengertian dan pemahamannya tentang zina. Menurut hukum yang hidup dimasyarakat adalah hubungan badan diluar nikah, baik yang salah satunya terikat tali perkawinan atau keduanya belum teriakat.

Dalam pemikiran masyarakat pada umumnya zina yang diterangkan dalam KUHP kita hanya menjerat orang melakukan zina jika salah satunya terikat tali perkawinan, berarti jika orang yang melakukan zina yang keduanya belum memiliki tali perkawinan maka perbuatan tersebut tidak dipidana. Lagipula, pasal 284 KUHP adalah delik aduan yang tidak memungkinkan perbuatan itu dipidana Jika tidak ada yang mengadukan dari pihak yang dirugikan(suami atau istri yang dikhianati pasangannya)

Pandangan inilah yang seharusnya diubah dalam kebijakan hukum pidana dalam tindak pidana zina, Walaupun konsep KUHP belum rampung diketok oleh badan legislatif dan legalitas formal kita pun belum diatur secara jelas, toh kita bisa menggunakan asas legalitas materiil yang memungkinkan seorang hakim hanya mendasarkan hukum yang tertulis saja tetapi hukum yang hidup dimasyarakatpun bisa dipakai menjadi dasar.

Melalui pemikiran ahli hukum yang progresif bukan tidak mungkin asas legalitas materiil di Indonesia berubah menjadi hukum yang diakui Negara dan diundang-undangkan sebagai hukum positif. Perlu adanya ketegasan dari aparat penegak hukum untuk tercapainya tujuan ini dan menjadikan hukum pidana Indonesia sebagai alat penanggulangan kejahatan termasuk zina. Kita tidak melulu memandang KUHP adalah aturan yang absolute bagi hukum pidana, karena penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren am symptom”.

Zina bisa dijadikan tindak pidana dan dalam arti melakukan hubungan badan di luar nikah. Yang mengacu pada hukum yang hidup di masyarakat dan dilakukan dengan legalitas materiil.

SEBERCAK KRITIK BAGI HUKUM PIDANA

Standar

Hukum haruslah senantiasa berkembang dinamis dalam kehidupan manusia agar tidak terlalu jauh tertinggal dari apa yang diaturnya karena pada hakekatnya tujuan hukum adalah penegakkan keadilan, kepastian, & kemanfaatan. Jika hukum sudah tertinggal sangat jauh dari apa yang diaturnya maka mana mungkin penegakan keadilan, kepastian, & kemanfaatan itu akan tercapai. Begitu pula dengan hukum pidana yang berfungsi melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang hendak memperkosanya (Rechtsguterschutz), hukum pidana dituntut lebih dinamis dari cabang hukum yang lainnya karena memang kejahatan dan pelanggaran yang diatur dalam hukum pidana lebih cepat berkembang.

Namun, pada kenyataannya hukum pidana Indonesia sangat jauh tertinggal dari apa yang diaturnya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjadi induk hukum pidana di Indonesia Sudah sejak lama diterapkan di Indonesia, terhitung sejak tahun 1918 yang pada masa penjajahan belanda bernama Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlansch Indie (W.V.S) dan pada tahun 1946 diadopsi oleh kita. Jika di ibaratkan sebagai manusia mungkin KUHP Indonesia bisa digambarkan sebagai manusia tua renta seperti cerita di dalam film titanic, yang sekarang sedang menceritakan masa mudanya yang penuh dengan tantangan dan petualangan karena memang sang KUHP sekarang sudah usang dan tidak ada lagi taring untuk melawan semua pelanggar-pelanggarnya. KUHP tidak pernah dirubah sejak lahirnya atau minimal di beri suplement untuk menguatkan otot-otot keadilan dan kepastian didalamnya pun tidak. Kebijakan yang dibuat pemerintah adalah mengeluarkan Konsep KUHP (RUU) yang masih digodok sejak berpuluh tahun yang lalu dari masa orde baru. Belum lagi Konsep KUHP diketok dan disahkan, pemerintah malah mengeluarkan kebijakan yang melahirkan undang-undang baru dari dalam KUHP, yang akibatnya adalah tercecernya perundang-undangan yang mengatur masalah pidana dari induknya (KUHP) yang terkesan berantakan, tidak tertata rapih dan kumuh.

Oleh karena itu, seharusnya Konsep KUHP segera dijadikan hukum positif untuk Indonesia tanpa kompromi-kompromi politik lagi karena ini menyangkut kehidupan masyarakat kita yang membutuhkan payung hukum yang lebih jelas dari tindak pidana kejahatan maupun pelanggaran. Toh, konsep KUHP sudah dibuat oleh ahli-ahli hukum Indonesia yang handal dan tidak diragukan lagi kemampuannya. Dengan di sahkan konsep KUHP nanti, sang kakek tua renta itu pun bisa digantikan penerusnya yang lebih kuat dan berotot untuk melindungi kepentingan hukum dan tercapainya tujuan hukum. Selain itu, kita dapat menata kembali Undang-undang yang tadinya tercecer dari induknya dan agar tidak ada lagi keruwetan dalam hukum pidana Indonesia. Bukan hanya itu, hukum kita juga perlu adanya pembaharuan yang progresif atau paling tidak aparat penegak hukum lah yang bersikap progresif, ketika konsep KUHP itu masih menjadi perdebatan di anggota dewan paling tidak aparat penegak hukum bisa memulainya dengan keberanian untuk mengatasi suatu kasus dimasyarakat yang belum ada hukumnya dengan legalitas materiil karena norma-norma yang berlaku sebagai legalitas materiil dalam masyarakat kita sangat kaya akan nilai-nilai budi pekerti dan bisa menjadi sumber hukum baru alternative hukum positif kita yang sudah usang.

POLEMIK PIDANA MATI

Standar

Dalam kitab undang undang hukum pidana {KUHP} Indonesia di buku 1 pasal 10 menyebutkan jenis- jenis pidana yang berlaku di Indonesia, di pasal itu pidana mati termasuk kedalam pidana pokok dan itu berarti pidana mati sah dilakukan di Indonesia. Namun dalam perkembangan dewasa ini pidana mati sudah menjadi polemik bagi masyarakat bahkan dikalangan ahli hokum sendiri.

Terdapat dua kubu yang muncul dalam penerapan pidana mati di Indonesia. Yang pertama adalah kubu yang kontra diterapkannya pidana mati dalam hukum di Indonesia, dengan berbagai alasan yang kebanyakan dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Dengan dasar UUD 1945 pasal 28A yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan perjanjian-perjanjian luar negeri, seperti International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life), yang menyatakan dalam pasal 6 ayat1 “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”.

Kubu yang kedua yang pro terhadap pidana mati adalah hukum positif di Indonesia sendiri. Masih banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih menerapkan pidana mati di dalam ketentuan-ketentuannya. Hal ini di pertegas dengan pernyataan dalam penjelasan pasal 9 (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada intinya membatasi hak untuk hidup dalam dua hal, yaitu tindakan aborsi demi kepentingan hidup ibunya dan berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati.

Kedua kubu tersebut bertolak belakang sehingga menyebabkan probematika dan mengakibatkan dampak negatif terhadap penerapan hingga pelaksanaan eksekusi pidana mati di Indonesia. Tampaknya mustahil jika kita menentang pidana mati sementara peraturan perundang-undangan kita termasuk yang lahir pada era reformasi masih mencantumkan ancaman pidana tersebut.

Memang pelik jika kita disuruh memilih antara yg pro dan yg kontra. untuk yg pro, lebih kepada urusan pembalasan yg setimpal. nyawa dibalas dengan nyawa. untuk yg kontra mengatasnamakan kemanusiaan, dan toleransi. untuk yg kontra dibentuk satu badan internasional bernama amnesti internasional yg mengusahakan pengampunan kepada para terpidana mati diseluruh dunia. saya lebih kepada pro yang bersyarat. maksudnya, saya setuju adanya hukuman mati untuk mendukung penegakan hukum dan menimbulkan efek jera, namun dengan beberapa persyaratan. 1) hukuman mati harus dilakukan dengan cara yang dapat meringankan penderitaan terdakwa dan manusiawi, tidak menimbulkan kesengsaraan. di Indonesia hukuman mati dilakukan dengan cara tembak yg saya pikir tepat asal langsung mematikan organ vital. 2) hukuman mati baru boleh dilaksanakan jika semua upaya hukum penyidikan, dan pembuktian secara berkala hingga PK dan grasi dilakukan terdakwa. 3) sebaiknya hukuman mati dilakukan setelah terpidana menjalani hukuman penjara > 20 tahun agar suatu saat kasusnya dapat dibuka kembali dan dapat meringankan terpidana.