Tag Archives: sistem peradilan

Hubungan Penuntutan Dengan Penyidikan

Standar

Dalam integrated criminal justice system, terdapat tahapan yang mana dalam proses penyelesaian perkara saling berkait dan saling mendukung satu sama lain. Sukarton Marmosudjono merumuskan Integrated Criminal Justice System sebagai sistem peradilan pidana yang terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan pola penyelenggaraan perkara pidana secara kesuluruhan dan kesatuan (Administration of Criminal Justice System). Pelaksanaan peradilan sendiri terdiri dari komponen-komponen seperti penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Integrated Criminal Justice System adalah suatu usaha untuk mengintegrasikan semua komponen diatas, sehingga peradilan dapat berjalan sebagimana mestinya. digambarkan sebagai hubungan yang saling mengkait antar setiap komponen peradilan.

Selanjutnya dalam membahas komponen-komponen tersebut, akan dititik beratkan dalam tahap penyidikan dan penuntutan. Namun dalam penelitian ini, tahapan yang akan dikaji lebih di fokuskan ke dalam tahap penuntutan.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti, dan dengan bukti-bukti tersebut penyidik akan membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi, dan guna menemukan tersangka sebagai pelaku yang akan dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Dalam KUHAP, pengertian dari penyidikan sendiri dirumuskan dalam pasal 1 angka 2 KUHAP.

Sedangkan penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan ynegeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP, dengan permintaan agar perkara tersebut diperiksa oleh hakim di sidang pengadilan.

Di dalam pasal 137 KUHAP ditegaskan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa yang melakukan tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.

Sebagaimana di ungkap diatas bahwa penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dangat berkaitan erat dengan penuntutan. Atau dengan kata lain, penyidikan adalah sebagai landasan atau patokan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana. Kenyataan bahwa hasil penyidikan merupakan dasar dari pembuatan surat dakwaan bagi penuntut umum, dikuatkan oleh doktrin sebagai berikut:

  1. A. Karim Nasution menemukakan bahwa jaksa tidak boleh mengemukakan tuduhan semaunya, tetapi terikat dengan hasil-hasil pemeriksaan pendahuluan (penyidikan);
  2. Andi Hamzah mengemukakan bahwa  untuk menyusun surat dakwaan yang cukup memadai, haruslah dengan mempelajari hasil-hasil pemeriksaan pendahuluan.
  3. M. Yahya Harahap menyatakan bahwa surat dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan.

Dari pendapat para sarjana hukum kita, maka dapat disimpulkan bahwa penyusunan surat dakwaan yang baik akan sangat bergantung daripada hasil penyidikan yang baik pula.

Di bawah ini digambarkan mengenai alur dari tahap penyidikan hingga penuntutan:

Bagan Alur Penuntutan

Peran Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu di Indonesia

Standar

Bahwa untuk membentuk Sistem Peradilan Pidana Terpadu, maka jiwa akan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri harus terwujud secara integral dalam keseluruhan kebijakan legislasi yang mengatur seluruh proses kekuasaan penegakan hukum. Di dalam Pasal 24 ayat (1) sebelum dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 diatur tentang kekuasaan kehakiman ini, yang berbunyi:

 “Kekuasaan Kehakiman dijalankan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”

Menurut pendapat Andi Hamzah yang dimaksud badan kehakiman lain menurut undang-undang tersebut salah satunya termasuk Jaksa Agung pada Mahkamah Agung. Demikian juga menurut pendapat Barda Nawawi Arief yang dimaksud dengan badan peradilan lain itu adalah polisi dan jaksa. Setelah dilakukannya amandemen III pasal 24 ayat (1) UUD’45 berbunyi:

 “Kekuasaan kemakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”

Selanjutnhya dalam ayat (2) dinyatakan bahwa, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini justru memberi kesan kuat bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka hanyalah kekuasaaan untuk “menyelenggarakan peradilan” atau “kekuasaan mengadili”.

Politik hukum pemerintah dalam hal kekuasaan kehakiman dengan amandemen pasal 24 UUD 1945 adalah kurang tepat, karena justru telah mengalami kemunduran, dimana sebelum dilakukan amandemen, kemandirian kekuasaan kehakiman adalah juga termasuk kemandirian Jaksa dan polisi (badan kehakiman lain) yang memang merupakan satu kesatuan (sub-sistem) dari badan peradilan sebagai pemegang kekuasaan negara dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dan dengan amandemen justru menempatkan polisi dan jaksa terlepas dari kekuasaan kehakiman dan masuk dalam kekuasaan eksekutif, sehingga akan sangat sulit polisi dan jaksa dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara merdeka dan mandiri.

Lembaga kejaksaan dengan undang-undang nomor 16 tahun 2004 telah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan. Kejaksaan memiliki peran yang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana masuk ke pengadilan adalah tergantung sepenuhnya oleh Penuntut Umum. Peran yang amat besar inilah seharusnya disertai kemandirian dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, karena tanpa kemandirian dari kajaksaan, maka akan sangat sulit mengarapkan kemandirian kekuasaan peradilan pidana.

Lembaga Kejaksaan dalam perkembangannya telah beberapa kali memiliki payung hukum. Pada masa orde lama dengan undang-undang nomor 15 tahun 1961, pada masa orde baru dengan undang-undang nomor 5 tahun 1991 dan yang sekarang berlaku dengan undang-undang nomor 16 tahun 2004. Dari ketiga undang-undang tersebut sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai kedudukan dan kewenangan lembaga kejaksaan. Kedudukan kejaksaan justru lebih mantap ketika masa orde lama bila dibanding dengan masa reformsi. Dalam Undang-undang nomor 15 tahun 1961 pasal 1 ayat (1) ditegaskan bahwa kejaksaan adalah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum. Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1991 dan UU nomor 16 tahun 2004 justru kejaksaan menjadi lembaga pemerintahan artinya kejaksaan adalah lembaga eksekutif, padahal kalau dilihat kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan jelas kejaksaan melakukan kekuasaan dibidang yudikatif. Disinilah terjadi  ambivalensi kedudukan kejaksaan dalam penegakan hukum di indonesia. Memang dalam undang-undang 16 tahun 2004 pasal 2 ayat (3) dinyatakan bahwa kekuasaan kejaksaan dilakukan secara merdeka, namun bila dikaitkan dengan kedudukan kejaksaan sebagai lembaga eksekutif maka suatu kemustahilan bila kejaksaan dapat menjaankan kekuasaan dan kewenangan dialakukan secara merdeka.

Berdasarkan undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, maka jelas bahwa kedudukan kejaksaan adalah sebagai lembaga eksekutif yang melakukan tugas dan wewenang dibidang yudikatif, sehingga sangat mustahil kejaksaan dalam menjalankan tugasnya benar-benar merdeka atau independen.