Munculnya dugaan korupsi pengadaan simulator SIM oleh Korlantas Mabes POLRI yang sekarang ini sedang gencar diberitakan oleh media menimbulkan polemik baru dalam dunia hukum Indonesia. Bukan lagi luka lama yang harus dikorek (Cicak Vs Buaya dalam kasus Bibit & Chandra) namun masalah ini lebih kompleks yaitu melibatkan sengketa dua lembaga negara yang masing-masing “ngotot” untuk menanganinya. Sikap kepolisian yang tidak mau menyerahkan penyidikan kasus dugaan korupsi di Korlantas ke KPK, tidak patut dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alasannya, Undang-Undang KPK sebagai undang-undang khusus tentang penanganan korupsi sudah jelas mengatur prime authority yang diberikan kepada KPK untuk menangani kasus korupsi dan dengan demikian harus dipatuhi kepolisian dan kejaksaan. Hal ini tercantum dalam Undang-undang No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi :
Pasal 8
(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selain alasan tersebut, Sengketa kewenangan ini tidak dapat dibawa ke MK adalah karena wewenang Mahakamah Konstitusi dalam hal SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA hanya terbatas pada lembaga yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 saja (Undang-Undang No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 Ayat (1) huruf b), sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 jadi Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk memutus hal tersebut.
Independensi POLRI sebagai Penyidik juga patut dipertanyakan apabila kasus ini ditanganinya, ibarat jeruk makan jeruk hal itu tidak akan terjadi. Subjektifitas kepolisian dalam menangani kasus tersebut pasti akan menimbulkan polemik baru, misalnya saja akan ada tebang pilih dalam hal penentuan tersangka dan yang akan diseret menjadi tersangka hanyalah “Domba” yang dikorbankan untuk menyelamatkan tuannya. Ingat!! Polri masih mengenal sistem komando/patuh terhadap atasan, bayangkan jika kasus ini menjerat para jendral berbintang (seperti DS) apa yang akan terjadi? “tidak akan terjadi apa-apa” benar karena keterlibatannya akan ditutup-tutupi dan jeratannya beralih dari pangkat “berbintang” maksimal ke anggota yang berpangkat “bunga” saja. Namun jika memang kasus ini ditangani oleh lembaga kepolisian maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun masih berwenang untuk mengambil alih kasus tersebut dalam proses tengah-tengah penyidikan dan penuntutan. Hal ini didasarkan pada Undang-Undang KPK itu sendiri dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa pengambilalihan penyidikan dan penuntutan (merujuk Pasal 8) dilakukan oleh Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) dengan alasan yang disebutkan dalam huruf c & d adalah penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya, penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.
Jadi saya sampai pada kesimpulan saya yaitu penyelesaian masalah penegakan hukum dalam kasus dugaan korupsi di Korlantas POLRI sebaiknya ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi lah yang berwenang melakukannya didasarkan pada Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang komisi Pemberantasan Korupsi yang jelas mengatur prime authority yang diberikan kepada KPK untuk menangani kasus korupsi dan dengan demikian harus dipatuhi kepolisian. Selain itu alasan yang dianggap penting adalah independensi penanganan kasus tersebut yang harus dijaga agar tercapainya keadilan dan kepastian hukum. Ingat! Bukan hanya negara beserta lembaganya saja yang sekarang sedang mengawasi masalah ini, media dan masyarakat juga melaksanakan perannya untuk pengawalan kasus ini.